Selasa, 20 Juli 2010

MENAKAR KETULUSAN CALON PEMIMPIN



PILKADA (BUKAN) BATU LONCATAN MENUJU PILGUB



Sebagai pembuka, tulisan ini setidaknya dipengaruhi oleh kejadian beberapa waktu yang lalu ketika seorang anggota Komisi penting di negeri ini memilih untuk menerima pinangan dari pengurus baru sebuah partai besar, suatu peristiwa yang sempat mengguncang peta politik dalam negeri. Tulisan ini diilhami pula oleh pulangnya Ilmuwan nuklir Iran Shahram Amiri - setelah mengalami penculikan oleh agen AS disaat sedang berziarah ke Madinah- yang menolak 10 juta dolar untuk wawancara 10 menit dengan CNN atau bahkan 50 juta dollar agar Amiri tidak kembali ke Iran. Paling tidak, sikap Amiri menegaskan bahwa integritas dan Nasionalisme bukan sesuatu yang bisa dibeli. Dan terakhir, tulisan ini sepakat dengan pemikiran Syarif Hidayat : Pilkada yang Tersandera yang dimuat di Halaman Opini Kompas (Jumat/16 Juli 2010). Penting dicatat, tulisan ini tidak ditujukan untuk kepentingan politik pihak tertentu, dan memanfaatkan atau mengutipnya untuk dijadikan referensi yang berimplikasi politik adalah hal yang sepenuhnya diluar konteks .

Adalah hal yang lumrah dan terasa wajar bila sebuah kalimat berbunyi : rakyat pada hari ini akan memilih pemimpin yang terbaik menurut mereka, tapi menjadi lucu ketika kalimat itu kemudian dibalik : pemimpin terbaik itu akhirnya memilih rakyat yang ingin dipimpinnya. Adanya wacana menyangkut majunya beberapa tokoh (baik itu legislatif maupun eksekutif, birokrat maupun teknokrat) di kabupaten dalam pemilihan gubernur sekarang ini sangat marak kita dengar dan sepintas, kita berhasil dikondisikan untuk menganggapnya bukan masalah. Tapi, betulkah demikian?. Jawaban yang akan kita dengar kira-kira seperti ini : wajarlah bila beliau kemudian maju, kapasitasnya sudah bukan level daerah lagi, beliau sudah diperhitungkan di tingkat nasional. Ada pula yang berpendapat lebih agitatif, tokoh daerah yang meningkat ke level regional atau nasional bisa berdampak bagus, nanti didaerah kita bisa dibangun bandara internasional atau jalan beton ratusan kilometer. Kedua rasionalisasi di atas memang bisa diterima, tetapi bisa juga ditolak. Bagi yang ekstrim menolak, akan mengatakan bahwa pemimpin tersebut cenderung tidak tulus dalam memimpin, dalam bahasa interpersonal : pemimpin tersebut tidak memiliki ikatan bathin dengan daerahnya. Menjadi kasar bila kemudian pemimpin tersebut dikatakan haus kekuasaan.

Bila dilihat dari sisi politik, tentunya kinerja sang tokoh akan terganggu dengan adanya agenda-agenda sosialisasi ke daerah-daerah (yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum cuti resmi diajukan). Sehingga secara etis, proses percobaan alih posisi ini pastilah berdampak besar terhadap pelaksanaan tugas pokok. Dari sisi ekonomi, besarnya ongkos-ongkos politik akan menjadi beban tersendiri bila kemudian pada akhirnya tidak terpilih. Dan hal ini memancing praktek-praktek illegal untuk menutupi kerugian yang harus di tanggung sang kandidat. Dan bila pun kemudian terpilih,masih akan menyisakan masalah berupa kekosongan posisi yang ditinggalkan. Bisa pula terjadi kebingungan politik seperti yang menimpa salah satu komisi yang sudahdiutarakan di muka tulisan ini. Pada saat seperti ini, ketegasan profesi (baca :kesetiaan) menjadi hal yang terasa asing. Tapi juga akrab.

Seorang pemimpin yang tulus, bisa terasa ketulusannya ketika dia benar-benar ada untuk rakyatnya. Disaat dia memilih untuk berhenti, selayaknya dia berpamitan dengan cara baik. Bahwa dalam hidup, dia perlu tantangan yang lebih besar. Janganlah menjadikan rakyatnya sebagai safety matrass (kasur pengaman). Toh, bila terjatuh nantinya, masih ada rakyat yang bisa dan mau dipimpin kembali. Bila sudah demikian, maka akan tampaklah secara nyata, betapa rakyat –tanpa bisa menolak- kemudian ditempatkan dalam kondisi ketidakpastian politik. Dan ketidakpastian arah pembangunan.

Dalam perspektif moral, pemimpin seharusnya bukanlah posisi jenjang karir dari sebuah wilayah yang sempit yang kemudian meningkat ke wilayah yang lebih luas. Dalam konteks memimpin, moralitas seorang kepala desa, seharusnya dipandang sejajar dengan camat, bupati, gubernur bahkan presiden yaitu kemauan tulus untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat. Secara jujur, hal tersebut mungkin sangat sulit kita dapati dewasa ini. Meski tidak utopis.

Kemudian, untuk menjawab pertanyaan di judul tulisan ini tentang apakah pilkada kabupaten menjadi batu loncatan bagi pilgub atau tidak, akan berpulang pada maksud dibalik pertanyaan tersebut. Bila akan dikembangkan sebagai analisa fenomena politik dewasa ini, maka indikasinya memang semakin kuat. Bila dimaksudkan untuk langkah antisipatif dalam rangka penjaringan kandidat, maka perlu ada metode, baik itu dalam revisi produk hukum hingga kontrak social yang lebih bersifat konvensi sehingga menghindari kontradiksi dan uji materiil. Perlu pula dilakukan kajian-kajian yang komprehensif bagaimana dampak social politik dari daerah-daerah yang secara faktual menjadi stepping stone (batu loncatan) tersebut. Namun, terlepas dari kedua hal di atas, Pilkada dewasa ini nampaknya telah menjadi ajang untuk numpang tenar. Betapa tidak, public figur (baca:artis-artis) yang sudah sekian lama kabarnya tak kita dengar tiba-tiba muncul di tivi sebagai kandidat. Mereka memang punya modal awal yaitu popularitas sehingga hanya perlu sedikit polesan untuk kemudian menjadi electable (layak untuk dipilih). Pilkada sudah menjadi semacam candu. Jangan sampai ketagihan

Akhirnya, hanya hati yang tuluslah yang akan mampu menakar ketulusan. Yang bisa melihat malaikat di dalam dada seorang pemimpin, kemudian memutuskan untuk mengikutinya. Dan, tidak malah menampiknya.